PMII Ngawi Tolak Wacana Polri di Bawah Kemendagri atau TNI, Sebut Berpotensi Politisasi

PMII Ngawi Tolak Wacana Polri di Bawah Kemendagri atau TNI, Sebut Berpotensi Politisasi

Ngawi, Jawa Timur , ramahpublik. Com– Polemik terkait wacana pemindahan kewenangan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau TNI memicu respons keras dari berbagai pihak, termasuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ngawi. Ketua Cabang PMII Ngawi, Abdul Latif, menyatakan secara tegas penolakannya terhadap gagasan tersebut.

“Terdapat kemunduran kelembagaan jika Polri dikotakkan di bawah Kemendagri atau TNI, bahkan berpeluang besar untuk mudah dipolitisasi,” ujar Abdul Latif, Kamis (03/12/2024).

Menurut Latif, sistem kementerian yang berbasis kepartaian membuka peluang bagi institusi negara dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Jika menteri berasal dari partai tertentu, kelembagaan yang berada di bawahnya rentan digunakan untuk meraih keuntungan politik atau menjalankan kebijakan yang berpihak.

Wacana ini sebelumnya diungkapkan oleh Deddy Yevru Sitorus, Ketua DPP PDI-P. Dalam sebuah jumpa pers, Deddy menyatakan bahwa pihaknya tengah mengkaji kemungkinan agar Polri kembali berada di bawah kendali Panglima TNI atau Kemendagri. Ia juga menyarankan tugas-tugas Polri direduksi menjadi urusan lalu lintas, patroli keamanan, dan penyelesaian kasus-kasus kejahatan tertentu.

Namun, Latif menegaskan bahwa independensi dan netralitas Polri harus tetap dipertahankan. “Pada posisi langsung bertanggung jawab kepada presiden saja masih berpotensi mendapati intervensi, apalagi di bawah kementerian. Saya kira yang perlu diberikan perhatian adalah penguatan konstitusi dan netralitas kelembagaan. Usulan itu justru akan memperburuk keadaan,” tambahnya.

Latif juga menyerukan perlunya penguatan pengawasan internal dan eksternal terhadap Polri oleh elemen masyarakat sipil. Ia menekankan bahwa posisi kelembagaan Polri di bawah presiden adalah ciri khas sistem pemerintahan di Indonesia. “Di beberapa negara lain, kepolisian berada di bawah kementerian, tetapi untuk Indonesia itu kurang tepat, mengingat bangunan konstitusi kita yang belum sempurna,” ujarnya.

Lebih jauh, Latif menyinggung fenomena politisasi instansi pemerintah dalam Pilkada 2024, termasuk isu intervensi yang disebut “parcok” atau partai coklat. Menurutnya, semua instansi pemerintahan, tidak hanya Polri, rentan disalahgunakan oleh partai politik untuk kepentingan kekuasaan.

“Maka, harapan saya dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi solusi dalam penguatan penegakan hukum dan hak asasi manusia yang tidak sewenang-wenang. Ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap kesadaran hukum yang bersih,” tutupnya.

Wacana pemindahan kewenangan Polri ini dipastikan akan terus menjadi perhatian, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap independensi lembaga penegak hukum di Indonesia.(kurnia)